Kamis, 08 Maret 2012

MATERI VII SISTEM POLITIK ISLAM


MATERI VII SISTEM POLITIK ISLAM

oleh Asep Saepudin II pada 9 Januari 2012 pukul 10:26 ·
Dalam terminologi politik Islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasah, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Dalam fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi :
  1. Siasah Dusturiyyah (tata negara dalam islam)
  2. Siasah Dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara satu negara islam dengan negara islam lain atau dengan negara sekuler lainya)
  3. Siasah Maaliyyah (sistem ekonomi negara)
Kedaulatan berarti kekuasan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah swt. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam Alquran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata.
Disamping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan Alquran dan Sunnah Rasul.

  1. A.      Prinsip-prinsip Dasar Sistem Politik Islam
Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam meliputi (1) Musyawarah (2) Pembahasan bersama, (3) Tujuan bersama yaitu untuk mencapai suatu keputusan, (4) Keputusan itu merupakan penyesuaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama, (5) Keadilan, (6) Al Musaawah atau persamaan, (7) Al Hurriyyah (kemerdekaan/kebebasan), (8) Perlindungan jiwa raga dan harta Masyarakat.

  1. B.      Kepemimpinan dalam Sistem Politik Islam
Imamah, khalifat dan kepemipinan Umat Islam adalah kata-kata sinonim yang mempunyai satu arti seperti yang ditulis oleh banyak ulama bahwa arti Imamah adalah memimpin umat dalam agama dan dunia. Standar dalam kepemimpinan adalah demi kemaslahatan dan mengatur umat serta menjaga agama dan politik dunia.
Terdapat beberapa hal yang akan dibahas terkait dengan Imamah, sebagai berikut :
  1. Kewajiban Mengangkat Pemimpin
Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengangkat pemimpin untuk mengurus umat hukumnya wajib. Kewajiban ini bersandar atas beberapa alasan, pertama, konsensus sahabat atas adanya figur seorang pemimpin, sehingga para sahabat mendahulukan pembaitan Abu Bakar atas pemakanan Rasulullah saw. Kedua, bahwa menegakan hukuman dan benteng kekuasaan akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib, Ketiga, bahwa dalam kepemimpinan akan menarik kemanfaatan dan menolak kerusakan dan ini hukumnya wajib berdasarkan dalil Ijma. Sebagian ulama Islam berpendapat bahwa kewajiban tersebut berdasarkan pendekatan rasio dengan alasan bahwa setiap umat pasti membutuhkan kekuatan untuk mengatur peraturan dan mengatur individu, karena keberadaan seorang hakim merupakan kebutuhan kehidupan sosial manusia. Kedua pendapat di atas dapat dikonklusikan dan mungkin dikompromikan, karena tidak ada penghalang bahwa kepemimpinan merupakan tuntutan dan untuk menegakan undang-undang serta melindungi individu maka hukum telah menetapkan sebagai penguat atas tuntutan rasio, sehingga pendekatan rasio dan hokum tentang kewajiban nengangkat pemimpin dapat dikompromikan, hanya saja akal berperan sebagai penegak secara mutlak, sedangkan hukum mengantarkan idealisme yang tinggi, sehingga dalam kepemimpinan akan menjadi kuat jika ada hubungan masyarakat dan tidak ada unsur paksaan. Sedangkan yang dikehendaki hukum adalah mencapai kehidupan individu yang sempurna sebagaimana yang dikehendaki akal. Ibnu Khaldun berkomentar di dalam Kitab Muqaddimah “sebagaian manusia keliru, yang mengatakan bahwa menegakan pemimpin adalah tidak wajib, baik menurut pendekatan akal maupun hukum. Diantara mereka itu, al Asam dari kalangan Mutazilah dan kalangan Khawilfij dan lain-lain. Menurut mereka bahwa yang wajib hanyalah memberi informasi tentang hukum, dan bila umat sudah sadar atas keadilan dan pelaksanaan Hukum Allah swt maka tidak butuh figure pemimpin dan tidak wajib memilih pemimpin. Akan tetapi, pendapat itu masih ditentang dengan dasar Ijma, Faktor yang mendorong mereka berpendapat seperti itu adalah penghindaran dari kekuasaan dan Mazhabnya. Kesimpulanya adalah bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa umat islam wajib mempunyai Imam besar atas pemipim tinggi yang disetujui dan mendapat dukungan umat manusia.
  1. Syarat-syarat seorang pemimpin
Abu al Hasan al Mawardi berkata di dalam Kitab al Ahkam al Sultaniyyah “orang yang menjadi pemimpin diisyaratkan memiliki tujuh syarat sebagai berikut : Pertama, harus adil, Kedua ; berilmu dan mampu melakukan ijtihad, baik dalam ayat maupun bidang hukum, Ketiga ; sempurna pendengaran, penglihatan dan ucapannya, sehingga apa yang diketahui dapat ditangkap, Empat, sehat fisik, sehingga mampu melaksanakan tugas dengan baik, Lima; pandai beragumentasi dalam membina politik rakyat dan mengatur kemaslahatan, Enam, berani berjuang melawan musuh, Tujuh; nasabnya harus dari orang Quraisy, berdasarkan nas dan ijma.
Sebagian ulama menyatakan bahwa syarat-syarat tersebut hanya berlakuk untuk kepemimpinan umum bagi umat Islam (khilafah),  bukan kepemimpinan dalam berbagai jenjang.
  1. Kedudukan Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam
Dalam ajaran Islam semua masalah yang dihadapi umat harus di selesaikan dengan musyawarah, tidak boleh dimonopoli oleh satu orang, dan kepeimimpinan tinggi harus diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat.Pemimpin tinggi yang berkedudukan di pemerintahan Islam adalah sebagai pejabat tinggi negara disetiap negara yang berdasarkan undang undang. Karena kekuasaan presiden berasa di tangan rakyat lewat Dewan Perwakilan Rakyat, dan kekuasaan ini harus mendapat dukungan rakyat dan kebijaksanaan seorang presiden harus bermanfaat bagi rakyat, maka ulama menetapkan bahwa rakyat berhak memecat presiden karena ada sebab yang menghendakinya. Dan bila terjadi fitnah, maka presiden harus mencari jalan keluar yang terbaik dan orang yang paling bertanggungjawab, supaya masalahnya bisa lurus. Dia bisa diberhentikan jika melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugas. Abu bakar, khalifah pertama, pernah berpidato dalam khutbahnya “wahai manusia sesungguhnya kami memimpin kalian, padahal kami bukan terbaik darimu, bila kami baik bantulah kami, bila kami menyimpang, maka luruskanlah”. Dalam penutup khutbahnya dia berkata “tatatlah kepadaku, selama kami taat kepada Allah awt dan Rasul-Nya.Bila kami durhaka kepada Allah swt maka tidak ada taat kepadaku bagi kalian“, Abu bakar juga meriwayatkan pidato umar dan Usman untuk memperkuat imam rakyat dan atas kekuasaan serta pertanggungjawaban di hadapan rakyat. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam memerntah berdasarkan undang-undang, Khilafah memimpin urusan agama dan dunia, termasuk pula kekuasaan masalah politik negara, seorang Khalifah juga menjadi imam shalat, amir al haj, member rekomendasi syiar di masjid dan kutbah pada masjid maupun saat hari raya. Dan lain-lain urusan agama. Khalifah merangkap jabatan dengan tujuan utama menegakan sendi-sendi agama dan politik dunia. Dia harus kreatif dalam mengatur urusan agama dan dunia. Dan semua urusan agama dan dunia. Dan semua urusan kesejahteraan rakyat, kesejahteraan adalah tujuan paling utama sehubungan dengan penganngkatan seorang khalifah. Dalam islam tugas khalifah berkaitan dengan kebahagiaan manusia di dunia. Ada Kekuasaan seorang khalifah dalam urusan agama tidak ada hubunganya dengan sifat ketuhanan atau kekuasaannya yang bersandar dari kekuasan ghaib. Akan tetapi hal itu merupakan usaha sekelompok umat Islam yang dipercaya untuk menjaga agama dan politik dunia sehingga mereka mengangkat khalifah demi kesjahteraan kehidupan manusia. Maka wajib bagi rakyat untuk mendengarkan dan taat kepada khalifah.

  1. C.      Politik Keuangan dalam Islam
Yang dimaksud politik keuangan bagi suatu Negara adalah pengaturan sumber-sumber pemasukan dan pendayagunaan keuangan untuk memenuhi pembiayaan kepentingan umum, tanpa harus mengorbankan kepentingan individu atau kepentingan yang sifatnya khusus. Penggunaan keuangan bisa adil apabila memenuhi dua hal :
  1. Harus memperhatikan dan menjaga prinsip keadilan dan asas persamaan dalam memperoleh pamasukan keuangan negara, artinya negara tidak boleh menuntut seseorang membayar kepada negara melebihi dari apa yang ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku, selain itu, Negara tidak boleh menetapkan dan mewajibakan seseorang untuk membayar kepada negara melebihi dari kemampuan yang dimiliki orang tersebut. Ataupun melebihi dari kebutuhan yang diperlukan negara.
  2. Dalam membagi-bagikan sumber keuangan Negara harus memperhatikan semua kemaslahatan Negara yang diukur dari segi kepentinganya, yaitu tidak boleh memprioritaskan suatu masalah, tanpa memperhatikan kemaslahatan lainya. Kecuali itu, negara tidak boleh mementingkan bagian yang satu lebih daripada bagian yang lainya. Adapun sumber keuangan isalam yang berfungsi untuk memenuhi pembelanjaan kepentingan umum,
adalah sebagai berikut :
  1. Zakat, baik yang dikenakan terhadap harta, modal perdagangan, binatang ternak, tanaman atau buahbuahan.
  2. Pajak tanah pertanian, baik tanah yang dikeoola oleh non muslim, tanah yang disirami air hujan ataupun tanah yang disirami dengan mengeluarkan biaya, seperti irigasi.
  3. Pajak perorangan yang diambil dari ahli al kitab (yahudi dan nasrani), yang disebut jizyah
  4. Bea cukai (pajak) yang diambil dari barang-barang yang diimpor ke negara Islam dan barang-barang yang dieskpor ke negara Islam. Seperlima dari harta rampasan perang dan seperlima dari harta terpendam, maupun harta temuan.
  5. Harta pusaka orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya yang hanya suami atau istri, harta yang tidak diketahui pemiliknya dan semua harta yang digunakan untuk kepentingan umat islam.
Itulah sumber-sumber keuangan Islam yang telah ditetapkan dasar hukumnya di dalam Al quran dan Hadis. Namun ada sebagian sumber lain yang ditetapkan berdasarkan ijtihad pada sahabat pada masa permulaan Islam.

  1. D.      Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam
Menurut Ali Anwar (2002:195), ada beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam yaitu :
  1. Saling menghormati fakta-fakta dan tarikat-tarikat (Q.S 8:58, 9:4, 16: 91, 17:34)
  2. Kehormatan dan integrasi nasional (Q.S 16:92)
  3. Keadilan universal/internasional (Q.S 5:8)
  4. Menjaga perdamaian abadi (Q.S 5:61)
  5. Menjaga kenetralan negara-negara lain (Q.S 4:89-90)
  6. Larangan terhadap eksploitasi para imperialis (QS.6:92)
  7. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di negara lain (QS.8:72)
  8. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral (Q.S 60:8-9)
  9. Kehormatan dalam hubungan internasional (QS.55:60)
  10. Persamaan keadilan untuk para penyerang (QS.2:195, 16:126, 42:40)

  1. E.       Kontribusi Umat Islam terhadap kehidupan Politik di Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia. Sebagaimana di bidang lain, kaum Muslimin telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia, tak terkecuali di bidang politik.
  1. Di era kerajaan-kerajaan Islam, ditandai dengan berdirinya  berbagai macam kesultanan di berbagai wilayah Indonesia. Di Sumatera ada Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13), Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16), Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17) dan Kerajaan Melayu Jambi.
Di Jawa: Kesultanan Demak (1500 - 1550), Kesultanan Banten (1524 - 1813), Kesultanan Pajang (1568 - 1618), Kesultanan Mataram (1586 - 1755), Kesultanan Cirebon (sekitar abad ke-16).
Di Kalimantan: Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Pontianak (1771), Kerajaan Tidung, Kesultanan Bulungan(1731).
Di Maluku: Kesultanan Ternate (1257 - 1583), Kesultanan Tidore (1110 - 1947) Kesultanan Jailolo, Kesultanan Bacan, Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).
Di Sulawesi: Kesultanan Gowa (awal abad ke-16 - 1667), Kesultanan Buton (1332 - 1911) dan Kesultanan Bone (abad 17).

  1. Di era kolonialisme atau masa penjajahan. Hal ini ditandai dengan perjuangan para santri melawan penjajah. Terdapat nama seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dhien dan lainnya. Umat Islamlah yang sangat berperan dalam mempertahana negeri ini dari kungkungan penjajah.
  2. Di era setelah kemerdekaan di Masa Orde Lama. Hal ini ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis berbasis umat islam dan kedua dengan ditandai sikap pro aktif tokoh-tokoh politik islam dan umat islam terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, sejak proses awal kemerdekaan sampai jaman reformasi. Berkaitan dengan keutuhan negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam.
    1. Di era Orde Baru ditandai dengan keterlibatan umat Islam dalam berpolitik melalui berbagai partai. Meski di era 1970-awal 1990, peran umat Islam sedikit termarjinalkan oleh Orde Baru, tapi berbagai prestasi sudah ditorehkan dengan lahirnya berbagai kebijakan yang berpihak pada penerapan nilai-nilai Islam.
    2. Di era Reformasi. Tumbangnya Orde Baru tak mungkin dilepaskan dengan kontribusi umat Islam. Kaum Musliminlah yang menarik gerbong reformasi. Hadirnya berbagai tokoh dari kalangan Islam menandai hal itu. Selain dari ormas  besar seperti Amin Rais (Muhammadiyah) dan Abdurahman Wahid (NU), juga dari kalangan anak-anak muda seperti KAMMI, BEM-BEM berbagai Perguruan Tinggi yang mayoritas digerakkan oleh aktivis-aktivis Islam. Sulit dibayangkan reformasi akan bergulir jika tidak didukung umat Islam.

Mengapa umat Islam menerima Pancasila?
Dalam pandangan islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam al qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila pertama pancasila yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya.”
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan. Pertama. Nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Umat Islam mengedepankan keutuhan NKRI dan tak menginginkan perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar